Urgensitas
Pembangunan Karakter Berbasis Al-Qur’an Guna Membentuk Pemimpin
Bangsa yang Kaafah
Indonesia merupakan
negara yang kaya, bukan hanya memiliki
wilayah teritorial yang luas dan kekayaan alam yang melimpah,
tetapi Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang terbesar
di dunia yang memiliki penduduk terbanyak yang mayoritasnya muslim.
Melihat angka kelahiran di Indonesia yang begitu tinggi, seharusnya
Indonesia dapat menciptakan pemuda-pemudi calon pemimpin yang
berkualitas, kaafah1,
tidak setengah-setengah. Bukan hanya pemimpin yang memiliki
intelektualitas yang tinggi saja, tanpa didasari dengan nilai-nilai
moralitas. Karena kebanyakan dari pemimpin kita saat ini hanya
mementingkan suatu pangkat jabatan saja tanpa melaksanakan kewajiban
yang harus dipenuhi terhadap hak-hak rakyat. Pemimpin yang seperti
inilah yang secara tidak sadar menjajah negeri dan bangsanya sendiri.
Padahal kita mengetahui bahwasanya Indonesia lahir
dan dapat menjadi satu kesatuan, togetherness2, meskipun beraneka ragam ras, budaya dan agama dari tumpuan Pancasila. Terutama sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Seharusnya para pemimpin kita mengetahui, bahwa sesungguhnya jabatan mereka sebagai pemimpin bukan hanya sekedar indentitas saja, melainkan suatu amanah yang diberikan Allah SWT melalui perantara rakyat yang tidak lain harus dipertanggungjawabkan dan bukan menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi. Inilah contoh riil rendahnya moralitas para pemimpin karena tidak adanya basic3 Al-Qur’an dalam dirinya. Sebenarnya semua umat manusia sudah memiliki basic dalam memimpin, karena Allah SWT menciptakan setiap insan didunia ini sebagai seorang Kholifah4. Hanya bagaimana insan tersebut mematangkan dirinya untuk menjadi seorang pemimpin yang kaafah, baik dalam memimpin dirinya sendiri ataupun orang lain. Padahal Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an kepada para malaikat: “Dan (ingatlath) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”. Mereka (malaikat) berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih, memuji-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” [Al-baqarah:30]. Sehingga setiap manusia seharusnya menyadari bahwa dirinya diciptakan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini.
dan dapat menjadi satu kesatuan, togetherness2, meskipun beraneka ragam ras, budaya dan agama dari tumpuan Pancasila. Terutama sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Seharusnya para pemimpin kita mengetahui, bahwa sesungguhnya jabatan mereka sebagai pemimpin bukan hanya sekedar indentitas saja, melainkan suatu amanah yang diberikan Allah SWT melalui perantara rakyat yang tidak lain harus dipertanggungjawabkan dan bukan menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi. Inilah contoh riil rendahnya moralitas para pemimpin karena tidak adanya basic3 Al-Qur’an dalam dirinya. Sebenarnya semua umat manusia sudah memiliki basic dalam memimpin, karena Allah SWT menciptakan setiap insan didunia ini sebagai seorang Kholifah4. Hanya bagaimana insan tersebut mematangkan dirinya untuk menjadi seorang pemimpin yang kaafah, baik dalam memimpin dirinya sendiri ataupun orang lain. Padahal Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an kepada para malaikat: “Dan (ingatlath) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”. Mereka (malaikat) berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih, memuji-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” [Al-baqarah:30]. Sehingga setiap manusia seharusnya menyadari bahwa dirinya diciptakan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini.
Kita ambil contoh
pemimpin yang mencatat sejarah besar di dunia, yaitu Nabi besar umat
manusia Nabi Muhammad SAW. Sejarah menyatakan bahwa Nabi Muhammad
adalah seorang yatim piatu sejak kecil dan beliau tidak memiliki
latar belakang pendidikan, akan tetapi beliau memiliki kepekaan
sosial yang tinggi, sehingga diutus oleh Allah SWT untuk memperbaiki
umat manusia dan terbukti dengan akhlakul karimah yang dimiliki,
beliau telah mampu menunjukkan shiratal mustaqim kepada seluruh
kaumnya. Sesuai citra diri Nabi Muhammad SAW, untuk mencapai tujuan
yang diinginkan bersama, maka pemimpin harus mempunyai kemampuan
untuk mengatur lingkungan kepemimpinannya. Akan tetapi pada
kenyataanya di Indonesia banyak kerusakan moral pada calon pemimpin
yang terjadi akibat pengaruh negative, baik dalam aspek keluarga,
pendidikan, ataupun lingkungan yang belum sinkron dengan ajaran
Al-Qur’an. Keluarga merupakan lingkungan dalam skala kecil yang
mempunyai pengaruh vital dalam pembentukkan
basic moral. Sementara pendidikan dan lingkungan merupakan
suatu pendukung yang sangat berpengaruh pada ruang lingkup keluarga
dalam melahirkan kader-kader penerus bangsa yang berkualitas. Ketiga
hal tersebut sangat terkait satu sama lain. Apabila salah satu unsur
tersebut tidak berjalan selaras maka akan timbul pengaruh negative
bagi calon pemimpin bangsa. Realitanya, dalam
pendidikan formal, generasi muda sebagai
agent of change 5
sudah mendapatkan pembekalan agama, akan
tetapi umumnya tidak ada dukungan atau
penerapan di dalam keluarga dan lingkungan sekitar sehingga
menyebabkan tumbuhnya karakter negative bagi calon pemimpin
bangsa.
Di Indonesia sudah
terlihat maraknya dampak negative tersebut yang tertanam pada para
pemimpin. Banyak pemimpin di Indonesia yang
tersangkut berbagai kasus, menguatkan
pemikiran akan pentingnya pendidikan
berkarakter Qurani bagi pemimpin-pemimpin bangsa. Seperti kasus
korupsi yang menyeret Gubernur Banten, Ratu Atut Choisiyah serta
kasus Akil Mochtar pejabat lembaga tinggi negara yang menjabat
sebagai ketua Mahkamah Konstitusi. Bahkan Akil
Mochtar tidak hanya tersangkut kasus korupsi melainkan
juga kasus narkotika. Di
Indonesia juga banyak pemimpin yang kurang adil dalam
memutuskan suatu kebijakan, sehingga sering
terjadi unbalance6
pada beberapa sektor. Kasus seperti ini
timbul, bukan disebabkan ketidakmampuan
secara intelektual para pemimpin
bangsa dalam memimpin, melainkan
kurangnya pendekatan spiritual para pemimpin pada Sang Khalik dalam
aspek pembentukan moral. Al-Qur’an
memiliki sudut pandang tersendiri terkait seorang pemimpin. Untuk
menjadi pemimpin yang kaafah, setiap insan harus berkompetisi
dalam mematangkan diri untuk menjadi pemimpin sesuai prespektif
Al-Qur’an. Adapun karakter berdasarkan prespektif Al-Qur’an
untuk bekal pemimpin bangsa sesuai dengan sifat yang dimiliki oleh
para nabi dan rosul, antara lain: (1) Shidiq, yang berarti
kebenaran atau kesungguhan dalam bersikap, berkata, dan bertindak;
(2) Amanah, yang berarti dapat dipercaya dalam menjalakan
tanggungjawab yang diberikan kepadanya; (3) Fathonah, yaitu
kecerdasan dalam menyatukan diri terhadap nilai sistem dan cita-cita
negara, dengan kata lain mampu untuk menguasai sekaligus memecahkan
masalah yang dihadapinya; dan (4) Tabligh, yaitu menyampaikan
dengan jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang
diambilnya (akuntabilitas dan transparansi).
Sementara untuk
mencapai sifat ideal sebagai pemimpin tersebut, diperlukan usaha
nyata sebagaimana yang telah dianjurkan oleh Allah SWT dalam surat
As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiya (21): 73, antara lain: (1) Sabar dan
tabah, "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah"
[QS. As-Sajdah (32): 24]. Kesabaran dan ketabahan merupakan syarat
pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin untuk memenuhi sifat
kepemimpinan lainnya; (2) Mampu menunjukkan jalan kebenaran sesuai
dengan petunjuk Allah SWT, [QS. Al-Anbiya (21): 73] "Mereka
memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut tidak
hanya menunjukkan kebenaran bagi masyarakatnya tapi juga harus mampu
mengaplikasikan pada diri sendiri kemudian mensosialisasikannya di
tengah masyarakat dan juga harus mempunyai sense of crisis7
terhadap apa yang dialami rakyatnya; dan (3) Membudayakan diri pada
kebajikan, [QS. Al-Anbiya (21): 73] "Dan
Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan
zakat". Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada
kebahagiaan) apabila kebajikan telah menyatu dalam diri para pemimpin
yang timbul dari keyakinan ilahiyah yang sesuai dengan prespektif
Pancasila sila pertama dan akidah yang kokoh.
Di Indonesia telah
terjadi krisis kepemimpinan, akan tetapi dari sekian banyak pemimpin
yang tidak baik masih ada beberapa pemimpin yang kaafah dalam
kepemimpinannya yang sudah memenuhi kriteria pemimpin ideal, seperti
Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo dan Walikota Surabaya, Risma. Dua
pemimpin ini patut menjadi suri tauladan bagi pemimpin Indonesia yang
lain di zaman saat ini. Indonesia sendiri
menganut sistem pemerintahan demokrasi,
yang mana dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dalam
arti rakyat aktif terhadap pemilihan pemimpin
bangsa dan negara, maka warga Negara
Indonesia seharusnya mampu menilai para calon pemimpin sesuai dengan
prespektif Al-Qur’an dan Hadist sebagaimana yang telah
ditekankan pada sila pertama Pancasila.
Mengambil inti dari
penjabaran di atas, dapat dipetik hikmah bahwa terdapat nilai penting
akan pembangunan karakter calon pemimpin yang telah diajarkan dalam
Al-Qur’an dari zaman dahulu hingga zaman modern saat ini. Hanya
bagaimana para calon pemimpin tersebut berkenan mengoptimalkan
pengembangan diri mereka bukan hanya dari segi intelektual melainkan
juga segi moralitas. Sebab kemajuan suatu bangsa
dan negara tergantung pada pemimpinnya. Indonesia mempunyai cita-cita
tinggi dalam kehidupannya, sehingga pemimpin-pemimpin untuk Indonesia
haruslah pemimpin yang terbaik. “Alinsaanu makaanul
khoto’ wan nisyaan”, manusia tempat salah
dan khilaf, tapi hati nurani harus tetap ada
dengan moralitas yang baik.