Search

APK dan JOGJA

Thursday, April 3, 2014

“ISTIDLAL” (Salah Satu Sumber Hukum Islam)

ISTIDLAL”
(Salah Satu Sumber Hukum Islam)


 
BAB I
PENDAHULUAN


  1. LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk hidup termulia yang di karuniai akal pikiran dalam menjalani suatu kehidupan di dunia. Dalam proses kehidupan tentunya terdapat masyarakat yang didalamnya juga terdapat hukum yang mengatur. Sebagaimana Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat, di situ ada hukum). Di Indonesia, hukum yang digunakan adalah hukum positif dan hukum yang mengadopsi dari hukum negara penjajah (Belanda). Hukum positif Indonesia banyak mengambil dasar-dasar hukum Islam sebagaimana masyarakat di Indonesia mayoritas adalah pemeluk agama Islam.
Mengenai hukum Islam, tentunya tidak bisa lepas dari sumber-sumber atau asal dari hukum Islam itu sendiri. Banyaknya masyarakat yang kurang paham tentang sumber-sumber hukum Islam menjadi salah satu latar belakang penulisan makalah ini. Karena pada dasarnya sumber-sumber hukum Islam tidak hanya satu hal melainkan terdapat beberapa hal yang keseluruhan menjadi urgent dalam memahami hukum Islam terutama bagi mahasiswa yang belajar Ilmu Hukum.

Banyak cara dalam mempelajari hukum Islam. Cara yang dilakukan oleh umat muslim di Indonesia dengan umat muslim luar negeri terkadang berbeda, akan tetapi ada cara yang diakui secara universal bagi seluruh umat muslim di dunia. Di Indonesia masih sering dijumpai adanya perbedaan penafsiran suatu ayat Al-Qur’an atau hadist maupun penafsiran dalam pemecahan masalah yang tidak ada aturan secara jelas di dalam Al-Qur’an maupun hadist. Hal ini menjadi sebuah permasalahan yang tidak hanya menyangkut kehidupan di dunia melainkan juga kehidupan setelah mati. Nasib seseorang atau status amal ibadah maupun perbuatan di dunia akan dipertanyakan kelak di akhirat, salah satunya adalah penyelesaian suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Terutama bagi umat muslim yang seharusnya hidup dalam bingkai syariat yang baik sesuai dengan yang disampaikan oleh اللَّهَ SWT melalui Nabi Muhammad SAW. Sehingga dalam makalah ini akan dibahas bagaimana sumber-sumber hukum Islam khususnya mengenai Istidlal.


  1. RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi masalah sehingga dirasa penting dalam penulisan makalah ini adalah:
  1. Apa pengertian Istidlal?
  2. Apa macam-macam Istidlal?
  3. Apa contoh dari macam-macam Istidlal?


  1. TUJUAN DAN MANFAAT
Adapun tujuan dan manfaat penulisan makalah ini adalah:
  1. Untuk mengetahui hakikat atau pengertian Istidlal;
  2. Untuk mengetahui macam-macam Istidlal;
  3. Sebagai bahan pembelajaran mata kuliah Hukum Islam untuk mahasiswa Fakultas Hukum

BAB II
PEMBAHASAN


  1. PENGERTIAN ISTIDLAL
Secara bahasa berasal dari kata Istadalla artinya : minta petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Imam Al-Jurjani, memberi arti kata istidlal secara umum, yaitu menentukan dalil untuk menetapkan sesuatu keputusan bagi yang ditunjukkan. Imam Al-Syafi'i memberikan pengertian terhadap Istidlal dalam arti, menetapkan dalail dari nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) atau dari ‘ijma dan selain dari keduanya. Terdapat arti istidlal yang lebih khusus, seperti yang dikemukakan oleh Imam Abdul Hamid Hakim, yaitu mencari dalil yang tidak ada pada nash Alquran dan al-Sunnah, tidak ada pada Ijma dan tidak ada pada Qiyas.1
Definisi di atas menunjukan bahwa seorang mujtahid dalam memutuskan sesuatu keputusan hukum hendaklah mendahulukan Alquran, kemudian As-Sunnah, lalu al-‘Ijma selanjutnya Al-qiyas. Dan jika Ia tidak menemukan pada Alquran, As-Sunnah, Al-‘Ijma dan Al-Qiyas, maka hendaklah mencari dalil lain ( Istidlal ).


  1. MACAM-MACAM ISTIDLAL
Para ulama ushul fiqih, menjelaskan istidlal itu ada beberapa2 macam, antara lain:
  1. Istishab
  2. Maslahatul mursalah
  3. Istihsan
  4. Sadduz zara’i
  5. Ilham
Macam-macam Istidlal tersebut, jika dijabarkan menjadi seperti berikut:

  1. ISTISHAB
Kata Istishab berasal dari kata suhbah artinya 'menemani' atau 'menyertai'. Atau al-mushahabah: menemani, juga istimrar al-suhbah: terus menemani. Dalam istihnya: “Saya membawa serta apa yang telah ada pada waktu yang lampau.” Menurut Istilah ilmu Ushul fiqih yang dikemukakan Abdul Hamid Hakim: “Istishab yaitu menetapkan hukum yang telah ada pada sejak semula tetap berlalu sampai sekarang karena tidak ada dalil yang merubah.” Imam al-Syaukani memberi definisi, Yaitu “menetapkan ( hukum) sesuatu sepanjang tidak ada yang merubahnya.”

  1. Contoh-contoh Istishab
Istilah Istishab memiliki beberapa contoh, antara lain:
  1. Apabila telah jelas adanya pemilikan terhadap sesuatu harta karena adanya bukti terjadinya pemilikan seperti karena membeli, warisah, hibah atau wasiat, maka pemilikan tersebut terus berlangsung sehingga ada bukti-bukti lain yang menunjukan perpindahan pemilikan pada orang lain;
  2. Orang yang hilang tetap dipandang hidup sehingga ada bukti atau tanda-tanda lain yang menunjukan bahwa dia meninggal dunia;
  3. Seorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami istri sampai ada bukti lain yang menunjukan bahwa mereka telah bercerai;
  4. Tetap dipandang sah punya wudlu bagi yang yakin sebelumnya telah berwudlu, dan tidak hilang karena keragu-raguan;
  5. Menetapkan utang atas seseorang, berdasarkan persaksian dua orang sebelumnya, sampai adanya bukti pembayaran.


  1. Macam-macam Istishab
Istilah Istishab juga memiliki beberapa macam, antara lain:
  1. Istishab Al-Bara'ah al-Ashliyah
Terhadap istishab ini Ibnu Qayyim menyebutnya Bara'ah al-'Adam al-Asliyah. Istishab ini adalah terlepas dari tanggung jawab atau terlepas dari suatu hukum, sehingga ada dalil yang menunjukan. Terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif sampai ada bukti yang menetapkan taklifnya. Misalnya, Anak kecil sampai datangnya baligh. Tidak ada kewajiban dan hak antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat pernikahan sampai adanya akad nikah. Tidak adanya kewajiban shalat yang ke lima waktu. Tidak adanya shaum Sya'ban.


  1. Istishab yang ditunjukan oleh al-syar'u atau al-Aqlu
Yaitu sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkannya hukum yang berbeda dengan hukum itu. Misalnya, seseorang harus tetap bertanggung jawab terhadap utang sampai ada bukti bahwa dia telah melunasinya. Hak milik suatu benda adalah tetap dan berlangsung terus, disebabkan adanya transaksi kepemilikan, yaitu akad, sampai adanya sebab lain yang menyebabkan hak milik itu berpindah tangan kepada orang lain. Contoh lain, hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya, hingga apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau telah batal maka berdasarkan istishab wudhunya dianggap masih ada, karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudhu tersebut tidak bisa mengalahkan keyakinan seseorang.

  1. Istishab al-Hukmi / Dalil umum
Yaitu sesuatu yang telah ditetapkan dengan hukum mubah atau haram, maka hukum itu terus berlangsung sampai ada dalil yang mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang asalnya haram. Dengan kata lain sampai adanya dalil yang mengkhususkan atau yang membatalkannya. Dan asal dalam sesuatu (mu'amalah) adalah kebolehan. Misalnya, kewajiban menginfakan hasil usaha manusia dan hasil eksploitasi alam. Berdasarkan ayat yang umum (Al-Baqarah : 267), kandungan ayat umum tersebut tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

  1. Istishab Washfi
Seperti keadaan hidupnya seseorang dinisbahkan kepada orang yang hilang. Misalnya, Apabila seseorang dalam keadaan hidup meninggalkan kampung halamannya, maka orang ini oleh semua madzhab dianggap tetap hidup sampai ada bukti-bukti yang menunjukan bahwa ia telah meninggal dunia, oleh karena itu pemilikannya dipandang tetap, misalnya hak memiliki waris.

  1. Istishab hukum yang ditetapkan ijma lalu terjadi perselisihan
Istishab seperti ini diperselisihkan ulama tentang kehujahannya. Misalnya, para ulama fiqih menetapkan berdasarkan Ijma, Bahwa tatkala tidak ada air, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Apabila dalam keadaan shalat ia melihat ada air, apa shalatnya harus dibatalkan, untuk kemudian berwudhu atau shalat itu ia teruskan?. Ulama Malikiyah dan Syafi'iyyah menyatakan tidak boleh membatalkan shalatnya, karena ada Ijma yang menyatakan salahnya sah bila dilakukan sebelum melihat air. Tapi ulama Hanafiyah dan Hambaliyah menyatakan ia harus membatalkan shalatnya.

  1. Kehujahan Istishab
Mayoritas pengikut Maliki, Syafi'i, Ahmad dan sebagian ulama Hanafi menyatakan bahwa istishab dapat jadi hujah, selama tidak ada dalil yang merubah. Dan sebagian besar dari ulama mutaakhirin juga demikian. Sementara segolongan dari ulama Mutakallimin, seperti ' Hasan al-Basri', menyatakan bahwa istishab tidak bisa jadi hujah, karena untuk menetapkan hukum yang lama dan sekarang harus berdasarkan dalil.


  1. MASLAHATUL MURSALAH
Kata tersusun dari dua kata yaitu al-mashlahah dan al-Mursalah. Kata al-Mashlahah dari kata sama dengan beres. Bentuk mashdarnya = keberesan, kemaslahatan. Yaitu sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Kata mursalah, dari kata sama dengan mengutus. Bentuk isim maf'ulnya = diutus, dikirim, dipakai, dipergunakan. Perpaduan dari dua kata menjadi mashlahah mursalah, berarti prinsip kemaslahatan, kebaikan yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik atau bermanfaat.
Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih, bermakna: “Maslahah Mursalah adalah sesuatu yang mengandung kemaslahatan, dirasakan oleh hukum, sesuai dengan akal dan tidak terdapat pada asal.”

  1. Contoh-contoh Maslahatul Mursalah
Untuk memudahkan memahami maslahatul mursalah ini, dapat dilihat dari beberapa contoh:
  1. Kebijaksanaan Abu Bakar ra. dalam memushhafkan Alquran, memerangi orang yang membangkang membayar zakat, menunjuk Umar ra. menjadi khalifah;
  2. Putusan Umar bin Khatab tentang mengadakan peraturan dan berbagai pajak, dan putusan beliau tidak menjalankan hukum potong tangan terhadap pencuri, yang mencuri karena lapar dan masa paceklik;
  3. Putusan Usman bin Affan ra. tentang menyatukan kaum muslimin untuk mempergunakan satu mushaf, menyiarkannya dan kemudian membakar lembaran-lembaran yang lain.


  1. Kehujahan Maslahatul Mursalah
Di antara para ulama ushul ada yang menerima dan ada pula yang menolak berhujah dengan mashlahatul mursalah:
  1. Ulama-ulama Syafi’iyyah, Hanafiyah dan sebagian ulama Malikiyah tidak menjadikan mashlahatul mursalah sebagai hujah.
  2. Menurut sebagian ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyyah, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
  3. Di antara ulama yang paling banyak menggunakan mashlahatul mursalah ialah Imam Malik. Untuk ini Imam Al-Qarafi berkata “Sesungguhnya berhujah dengan mashlahatul mursalah dilakukan oleh semua madzhab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan pranata satu dengan lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.”

  1. ISTIHSAN
Dilihat dari asal bahasa Istihsan dari kata bahasa arab artinya mencari kebaikan. Al-Hasan menyebutakn makna istihsan secara bahasa dengan ungkapan artinya mencari yang lebih baik.

  1. Contoh-contoh Istihsan
Untuk memudahkan memahami Istihsan berikut adala beberapa contoh yang terkait:
  1. Seseorang yang dititipi barang harus mengganti barang yang dititipkan kepadanya apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bila seorang anak menitipkan barang kepada bapaknya, kemudian barang tersebut digunakan oleh bapaknya untuk membiayai hidupnya, maka berdasarkan Istihsan si bapak tidak diwajibkan untuk menggantinya, karena ia mempunyai hak menggunakan harta anaknya untuk membiayai keperluan hidupnya;
  2. Seseorang mempunyai kewenangan bertindak hukum, apabila ia sudah dewasa dan berakal. Bagaimana halnya dengan anak kecil yang disuruh ibunya kewarung untuk membeli sesuatu?, Berdasarkan Istihsan anak kecil tersebut boleh membeli barang-barang yang kecil yang menurut kebiasaan tidak menimbulkan kemafsadatan.

  1. Macam-macam Istihsan
Istihsan terbagi menjdai dua bagian :
  1. Mengutamakan qiyas khafi (yang samar-samar) dari pada qiyas jalli (yang jelas) berdasarkan dalil. Misalnya, tentang wanita, bahwa wanita itu aurat (aib, cela) harus tertutup karena akan membawa pada fitnah. Dalam qiyas jalli. Memandang aurat wanita diqiyaskan kepada ‘wanita itu aurat’ dilihat dari sama – sama akan membawa fitnah, maka hukumnya haram. Dalam qiyas khafi diperbolehkan melihat sebagian aurat wanita karena adanya hajat/keperluan, jika tidak dilakukan akan membawa kesulitan. Maka qiyas khafinya, mengqiyaskan melihatnya seorang dokter pada sebagian aurat wanita saat mengobati/memeriksa, kepada melihat aurat wanita karena ada hajat, dari sisi adanya keperluan dan jika tidak, menimbulkan masyaqqah. Maka hukumnya boleh. Istihsannya, mengutamakan qiyas khafi dari qiyas jalli;
  2. Mengecualikan hukum juz’i (bagian atau khusus) dari pada hukum kulli (umum). Misalnya,:
  • Dalam hukum yang bersifat umum, tidak sah jual beli pada saat terjadi, barang belum ada, termasuk pada jenis jual beli Gharar. Hukum yang juz’i, dibolehkannya jual beli salam (jual beli dengan pembayaran lebih dahulu, tapi barangnya dikirim kemudian), dibolehkan ijarah = sewa menyewa, dibolehkan muzar’ah = menengah sawah. Istihsannya, karena sangat dibutuhkan dan telah jadi kebiasaan. Maka diambil hukum yang juz’I;
  • Orang yang mencuri harus dipotong tangannya, Umar menyatakan, kecuali pencurian itu dilakukan pada saat kelaparan. Maka diambil hukum yang kedua;
  • Orang yang di bawah perwalian tidak boleh membelanjakan hartanya sendiri kaarena takut hancur. Jika Ia mewakafkan hartanya untuk kekekalan, maka boleh . Istihsannya untuk kelangsungan harta dan tidak hancur;
  • Dilarang mendekati zinah, termasuk di dalamnya memandang wanita. Pada saat khithbah diperbolehkan memandang wanita yang dikhithbah untuk mengekalkan pada perjodohan. Maka Istihsannya mengambil hukum yang ke dua.

  1. Kehujahan Istihsan
Imam Asy-Syatibi berpendapat, barangsiapa beristihsan tidaklah berarti bahwa ia memulangkannya kepada perasaan dan kemauan hawa nafsunya, tetapi ia memulangkannya kepada maksud syar’i yang umum dalam peristiwa-peristiwa yang dikemukakan.


  1. SADDUZ ZARA’I
Kata Dzara’i artinya media, atau jalan. Dalam bahasa syariat Dzariah berarti “apa yang menjadi media/jalan kepada yang diharamkan atau yang dihalalkan”. Dan kata Saddu artinya mencegah atau menyumbat jalan.
Dengan kata lain, dzariah adalah washilah yang menyampaikan kepada tujuan, atau, jalan untuk sampai kepada yang diharamkam atau yang dihalalkan. Jalan yang menyampaikan kepada halal hukumnya halal pula, dan jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula, jalan kepada wajib, wajib pula.
Terdapat definisi lain yang menyebutkan,
Dzariah adalah media yang dhahirnya mubah, mendorong kepada perbuatan yang terlarang.”” Mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan.”
  1. Contoh-contoh Sadduz Zara’i
Untuk memperjelas Saddu dzariah dan fathu dzariah, dapat dilihat dari beberapa contoh berikut ini.
  1. Contoh Sanddu Dzariah
  1. Menebang dahan pohon yang meliuk di atas jalan umum, dapat mengakibatkan timbulnya gangguan lalu lintas;
  2. Wanita yang ditinggal mati suaminya, lalu berdandan sedang dia dalam keadaan Iddah, maka akan mendorong pada perbuatan yang terlarang;
  3. Melihat aurat perempuan dilarang, untuk menyumbat jalan terjadinya perzinahan.
  1. Contoh fathhu dzariah
  1. Meninggalkan jual beli pada waktu shalat jum’at, agar dapat melakukan shalat jum’at karena wajib;
  2. Berusaha agar dapat melakukan ibadah haji , adalah diperintah dan hukumnya wajib pula;
  3. Mencari dana untuk membuat masjid, agar masjid dapat dibangun, hukumnya wajib.
Dengan demikian yang dilihat dari dzariah ini adalah perbuatan-perbuatan yang menyampaikan kepada terlaksananya yang wajib atau mengakibatkan kepada terjadinya yang haram.

  1. Macam-macam Sadduz Zara’I
Pada dasarnya dzariah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi akibatnya yang dapat dibagi pada empat macam;
  1. Dzariah yang akibatnya menimbulkan kerusakan atau bahaya secara pasti. Misalnya, menggali sumur di belakang pintu rumah di jalan gelap yang bisa membuat orang yang akan masuk rumah jatuh ke dalamnya. Berzina menjadi perantara adanya percampuran dan ketidak pastian status nasab seseorang. Meminum khamer mengakibatkan hilangnya akal;
  2. Dzariah yang jarang berakibat kerusakan atau bahaya. Misalnya, berjualan makanan yang tidak menimbulkan bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuatkan khamer. Ini halal karena untuk dibuat khamer adalah jarang;
  3. Dzariah yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya; tidak diyakini dan tidak pula dianggap jarang. Dalam keadaan ini dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup jalan adalah wajib sebagai ikhtiar untuk berhati-hati terhadap terjadinya kerusakan. Misalnya, menjual senjata di waktu perang, ini akan menimbulkan fitnah. Menjual anggur pada pabrik pembuat khamer;
  4. Dzariah yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan itu. Misalnya, Jual beli yang menjadi sarana bagi riba.Menghibahkan sebagian hartanya kepada seseorang di akhir tahun zakat untuk menghindari kewajiban zakat. Nikah Tahlil misalnya, yaitu akad nikah yang dilakukan oleh orang ke tiga terhadap janda yang ditalak tiga, pernikahan itu tidak berlangsung lama, lalu diceraikan oleh orang ketiga dengan keadaan belum dicampuri, dengan tujuan istri yang baru dicerai itu halal dikawini kembali oleh bekas suaminya yang pertama. Bentuk dzariah ini pandangan Imam Malik dan Ahmad adalah haram dan harus disumbat.

  1. Kehujanan Sadduz Zara’i
  1. Ayat-ayat Alquran
Dalam QS. Al-An’am : 07 اللَّهَ SWT melarang orang mu’min memaki-maki orang musyrik atau Tuhan yang mereka sembah, karena perbuatan yang demikian itu menjadi sebab mereka akan membalas memaki-maki اللَّهَ SWT. Dalam QS. Al-Baqarah : 104 اللَّهَ SWT melarang kaum mu’minin berkata pada Rasulnya kata ra’ina3, sekalipun kata itu bagus maknanya bagi orang mu’min yaitu ‘Sudikah kiranya engkau memperhatikan kami’. Namun bagi orang Yahudi menjadikan kata itu sebagai media untuk mengejek Rasulullah SAW dengan arti bahasa mereka, yang artinya ‘bodoh sekali kamu’. Karena itu dilarang oleh اللَّهَ SWT. Agar yang haram tidak muncul.

  1. Sunah Rasulullah
Dalam sebuah hadist menunjukan bahwa orang mu’min dilarang mencaci-maki ayah seseorang, lalu nanti orang yang dicaci maki ayahnya itu berganti mencaci-maki ayahnya, demikian juga jika mencaci-maki ibu orang lain. Larangan itu untuk menjaga supaya yang diharamkan tidak muncul.
Contoh lain dari Rasulullah SAW:
  1. Nabi melarang membunuh orang Munafiq, karena membunuh orang munafiq bisa menyebabkan Nabi dituduh membunuh shahabat-shahabatnya sendiri yang muslim;
  2. Nabi melarang kepada kreditur mengambil atau menerima hadiah dari debitur, karena cara demikian bisa berakibat jatuh kepada riba, dan ini termasuk pada ikhtiyath;
  3. Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang, dan ditangguhkan sampai selesai perang, karena memotong tangan pencuri pada waktu perang membawa akibat tentara-tentara lari menggabungkan diri dengan musuh, Nabi bersabda “Tidaklah dipotong tangan pada waktu peperangan. “ R. Abu Daud;
  4. Nabi Muhammad SAW melarang penimbunan karena penimbunan itu menjadi media kepada kesempitan atau kesulitan manusia;
  5. Nabi melarang fakir miskin dari Bani Hasyim untuk menerima bagian zakat, kecuali apabila ia sebagai ‘amilin. Hal ini untuk menjaga fitnah bahwa Nabi Muhammad SAW memperkaya diri dan keluarganya.

  1. Pandangan Para Imam
Pada dasarnya para fuqaha memakai dasar ini, jika merupakan satu-satunya washilah kepada ghayah/tujuan. Imam Malik dan Imam Ahmad banyak berpegang pada dzari’ah, sedang Imam Syafi’i dan Abu Hanifah tidak seperti mereka, walaupun mereka tidak menolak dzariah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut Syafi’i, dzariah masuk ke dalam qiyas, dan menurut Abu Hanifah dzariah masuk kedalam Istihsan.
Ada ulama ushul yang menyebutkan:
  1. Saddu Dzara’i digunakan apabila menjadi cara untuk menghindarkan dari mafsadat yang telah dinashkan dan tertentu;
  2. Fathhu dzara’i digunakan apabila menjadi cara atau jalan untuk sampai kepada maslahat yang dinashkan. Karena maslahat dan mafsadat yang dinashkan adalah qath’i, maka dzariah dalam hal ini berfungsi sebagai pelayan terhadap nash;
  3. Tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan amanat (tugas-tugas keagamaan) telah jelas bahwa kemadharatan meninggalkan amanat, lebih besar daripada pelaksanaan sesuatu perbuatan atas dasar saddu dzariah.
Jadi, tidak memelihara harta anak yatim karena takut dhalim atas dasar saddu dzariah, jelas menyebabkan terlantarnya harta-harta anak yatim. Contoh lain, menolak jadi saksi karena takut dusta, menyebabkan hilangnya kemashlahatan untuk manusia. Karena itu prinsip saddu dzara’i tidak hanya melihat kepada niat dan maksud perorangan, tetapi juga melihat kepada kemanfaatan umum dan menolak kemafsadatan yang bersifat umum pula.
  1. ILHAM
Secaara bahasa Iham artinya = memberitahukan dan menempatkan. Secara istilah menurut ulama Ushul Fiqih antara lain : “Ilham adalah sesuatu yang di tuangkan ke dalam hati berupa ilmu yang mendorong untuk beramal tanpa petunjuk ayat dan tanpa memperhatikqan hujah.” Terdapat definisi lain yang di ungkapkan oleh imam al-Jurjani yaitu “Ilham adalah sesuatu yang dilontarkan ke dalam hati dengan jalan di tuangkan.”

Macam-macam dan Kehujahan Ilham
Sebagian kalangan Sufi berpendapat bahwa Ilham dapat di jadikan hujah dalam menentukan hukum, karena itu boleh beramal dengannya. Mereka beralasan dengan firman اللَّهَ SWT yang artinya “Maka اللَّهَ mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya.” Jumhur ulama ushul fiqih berkata bahwa ilham tidak bisa di jadikan hujah dalam menentukan hukum syara’ dan tidak boleh beramal dengan bedasar kepada Ilham karena yang ada di dalam hati itu ada kalanya dari اللَّهَ seperti yang tertuang pada QS. Al-Syamsu : 8 tersebut di atas dan juga ada dari syaitan seperti pada ayat yang artinya “Sesungguhnya Syaitan itu membisikan kepada kawan-kawannya.” Para ahli ushul fiqih berpendapat ilham yang datang dari اللَّهَ SWTdapat menjadi hujah, sedangkan yang datang dari Syaitan dan jiwa tidak bisa dijadikan hujah. Kehujahan ilham itu menurut mereka hanyalah kemungkinan atau dugaan semata. Dan hakekatnya tidak mungkin seseorang dapat membedakan di antara macam-macam Ilham tersebut kecuali setelah melalui penelitian, pengkajian dan mencari petunjuk dalil dari Al-Qur’an dan AS-Sunnah. Sedangkan jika beristidlal/mencari petunjuk dalil dari Al-Qur’an dan AS-Sunnah, itu disebut Ijtihad bukan disebut Ilham.
Imam Al-Jurjani berpendapat bahwa Ilham tidak bisa jadi hujah menurut para ulama ushul fiqih kecuali menurut kalangan orang sufi. Al-Jurjani menyebutkan ada yang disebut Ilham dan ada yang disebut i’lam. Perbedaan antara Ilham dan I’lam sesungguhnya Ilham itu lebih khusus daripada i’lam. I’lam itu bisa terjadi karena ada usaha sebelumnya dan kadang tidak melalui usaha sebelumnya yaitu dengan jalan tanbih/gugahan.
Dengan memperhatikan apa yang diungkapkan oleh para ulama di atas maka Ilham itu tidak bisa dijadikan hujah dan tidak boleh beramal dengan bersandar kepada Ilham.
BAB III
PENUTUP


  1. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian analisis data dalam bab pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
  1. Memperhatikan pengertian Istidlal, perlu juga diperhatikan beberapa macamnya yang masing-masing memiliki pengertian maupun teknis yang berbeda;
  2. Istidlal digunakan ketika terjadi sebuah permasalahan yang pedomannya tidak tercantumkan dalam Al-Qur’an maupun hadist;
  3. Masing-masing dari macam istidlal memiliki kegunaan dan penempatan yang berbeda.


  1. SARAN
Adapun saran yang dapat penulis berikan terkait sumber hukum Islam ‘istidlal’ adalah:
  1. Para ulama harus lebih berhati-hati dalam menemukan pemecahan masalah ketika tidak ada dalam Al-Qur’an maupun hadist dengan cara istidlal;
  2. Bagi umat muslim di dunia khususnya di Indonesia dalam memecahkan masalah kehidupan baik berhubungan dengan hukum maupun tidak, diharapkan lebih teliti dalam melakukan penafsiran solusi;
  3. Seyogyanya metode istidlal dipergunakan dengan sangat hati-hati demi mencegah terjadinya kesalahan dalam pemecahan suatu masalah.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam. Jakarta, Sinar Grafika, 1995.
Syaukani, Imam. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 2006.
Wahab Khalaf, Abdul. Kaidah-kaidah Hukum Islam. DDII. Jakarta. 1972.
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Dar Fikr Al-Arabi. 1958.
H.A.Djazuli. Ilmu Fiqh. Orba Sakti. Bandung. 1993.
Al-Khudari. Ushul al-Fiqh. Dar Al-Fikr. Baerut. 1981.
Hamid Hakim, Abdul. As-Sulam dan Al-Bayan. Sa'adiyah Putra. Jakarta.
Karim,Syafi'i. Fiqih Ushul Fiqh. Departemen Agama RI. 1995.
Yahya,Mukhtar. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Al-Ma’arif. 1986.
H.A.Djazuli. Ilmu Fiqh. Orba Sakti. Bandung. 1993.
Al-Jurjani. Al-Ta’rifat. Dar Al Kitab Al Arabi. Baerut. 1992.

1 Drs. H. Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, hlm. 59 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995)
2 Drs. H. Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995)
3 Ra’ina artinya “sudilah”, merupakan kata yang penggunaannya kasar. Sedangkan kita sebagai umat Islam yang mengakui Rosulullah SAW sebagai utusan اللَّهَ SWT tidak diperbolehkan berkata kasar terhadap Rosulullah SAW








Jangan Lupa di Like Ya!!!






Silahkan berkomentar, kritik dan saran disini!!!